LDII SIDOARJO - Setiap tanggal 21 April, wanita Indonesia dengan gegap-gempita memperingati Hari Kartini. Sosok ini dinilai sebagai Pahlawan Emansipasi bagi Kaum Hawa di tanah air. Namun cita-cita RA Kartini yang sesungguhnya adalah ingin pahami isi kandungan Alquran, dan menjadi muslimah sejati. Berikut bahasan tentang Kartini yang dihimpun dari berbagai sumber.
Kehidupan dan sejarah Raden Ajeng Kartini merupakan kisah penuh tragedi. Bila kita menilik dan melihat sejarah yang pernah kita pelajari di waktu SD, SMP, dan SMU, itu sangat bertentangan dengan cita-cita murni Kartini. Bisa kita lihat, emansipasi dan feminisme dijadikan berhala oleh banyak perempuan Indonesia dengan mengatasnamakan Kartini. Padahal, bukan itu yang hendak dicapai Kartini. Bila kita telusuri dan membaca artikel berikut, Kartini secara tersirat mengajak wanita Indonesia (khususnya wanita Jawa pada waktu itu) untuk belajar Alquran, baik cara membacanya, menghapalkannya, mengerti isinya, dan mengamalkannya.
Kehidupan dan sejarah Raden Ajeng Kartini merupakan kisah penuh tragedi. Bila kita menilik dan melihat sejarah yang pernah kita pelajari di waktu SD, SMP, dan SMU, itu sangat bertentangan dengan cita-cita murni Kartini. Bisa kita lihat, emansipasi dan feminisme dijadikan berhala oleh banyak perempuan Indonesia dengan mengatasnamakan Kartini. Padahal, bukan itu yang hendak dicapai Kartini. Bila kita telusuri dan membaca artikel berikut, Kartini secara tersirat mengajak wanita Indonesia (khususnya wanita Jawa pada waktu itu) untuk belajar Alquran, baik cara membacanya, menghapalkannya, mengerti isinya, dan mengamalkannya.
Peringatan Hari Kartini sering diikuti beragam acara yang mengedepankan emansipasi perempuan, kesetaraan gender, perjuangan feminisme, dan lain-lain. Kartini, dianggap sebagai ikon bagi perjuangan perempuan dalam persoalan tersebut. Kartini sering disebut sebagai ikon pendobrak bagi kemajuan perempuan Indonesia dan diakui secara resmi oleh pemerintah sebagai Pahlawan Nasional dengan Keputusan Presiden (Keppres) RI No. 108 tahun 1964.
Asal-Usul Kartini
Kartini lahir di Desa Mayong, sebelah barat Kota Kudus, Kabupaten Jepara. Sebagai anak seorang bupati, Kartini hidup dalam keluarga yang berkecukupan. Saat kecil, Kartini dimasukkan ke sekolah elit orang-orang Eropa, Europese Lagere School (ELS) dari tahun 1885-1892. Di sekolah ini, Kartini banyak bergaul dengan anak-anak Eropa.
Kartini berasal dari keluarga Jawa. Ayahnya RMAA Sosroningrat, merupakan Bupati Jepara. Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara, kandung dan tiri, sekaligus sebagai perempuan tertua. Kalangan Kartini adalah keluarga yang cerdas. Sang Kakek, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, menjadi bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini mampu menguasai 26 bahasa yang terdiri dari 17 bahasa – bahasa negeri Timur dan 9 bahasa Barat. Waktu itu, walau termasuk ningrat, sekolah formal Kartini hanya sampai tingkat Sekolah Rendah. Walau demikian, Kartini termasuk anak yang cerdas dan berani. Dalam usia remaja, dia tak ragu memberi kritik dan saran kepada penguasa Hindia Belanda, salah satunya menuntut mereka agar kaum pribumi bisa menuntut ilmu setinggi – tingginya.
Sebagai keluarga priyayi Jawa, kultur mistis dan kebatinan begitu melekat di lingkungan tempat tinggalnya. Namun bagi Kartini, ikatan adat istiadat yang telah berurat akar dalam itu, dianggap mengekangnya sebagai perempuan. Setelah tamat dari sekolah ELS Kartini memasuki masa pingitan. Sementara itu, Kartini merasakan betul betapa haknya mendapatkan pendidikan secara utuh dibatasi. Di luar, ia melihat pendidikan Barat-Eropa begitu maju.
Kartini banyak bergaul dan melakukan korespondensi dengan orang-orang Belanda berdarah Yahudi, seperti J. H Abendanon dan istrinya Ny Abendanon Mandri, seorang humanis yang ditugaskan oleh Snouck Hurgronye untuk mendekati Kartini. Ny Abendanon Mandri adalah seorang wanita kelahiran Puerto Rico dan berdarah Yahudi.
Kartini banyak bergaul dan melakukan korespondensi dengan orang-orang Belanda berdarah Yahudi yang ditugaskan oleh Snouck Hurgronye untuk mendekati Kartini. Tokoh lain yang berhubungan dengan Kartini adalah, H. H Van Kol (Orang yang berwenang dalam urusan jajahan untuk Partai Sosial Demokrat di Belanda), Conrad Theodore van Daventer (Anggota Partai Radikal Demokrat Belanda), K. F Holle (Seorang Humanis), dan Christian Snouck Hurgronye (Orientalis yang juga menjabat sebagai Penasihat Pemerintahan Hindia Belanda), dan Estella H Zeehandelar, perempuan yang sering dipanggil Kartini dalam suratnya dengan nama Stella. Stella adalah wanita Yahudi pejuang feminisme radikal yang bermukim di Amsterdam. Selain sebagai pejuang feminisme, Estella juga aktif sebagai anggota Social Democratische Arbeiders Partij (SDAP).
Kartini berkorespondensi dengan Stella sejak 25 Mei 1899. Dengan perantara iklan yang di tempatkan dalam sebuah majalah di Belanda, Kartini berkenalan dengan Stella. Kemudian melalui surat menyurat, Stella memperkenalkan Kartini dengan berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme.
Dalam sebuah suratnya kepada Ny Nellie Van Koll pada 28 Juni 1902, Stella mengakui sebagai seorang Yahudi dan mengatakan antara dirinya dan Kartini mempunyai kesamaan pemikiran tentang Tuhan. Stella mengatakan,”Kartini dilahirkan sebagai seorang Muslim, dan saya dilahirkan sebagai seorang Yahudi. Meskipun demikian, kami mempunyai pikiran yang sama tentang Tuhan. ”
Dr. Th Sumarna dalam bukunya ”Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini” menyatakan ada surat-surat Kartini yang tak diterbitkan oleh Ny. Abendanon Mandri, terutama surat-surat yang berkaitan dengan pengalaman batin Kartini dalam dunia okultisme (kebatinan dan mistis). Entah dengan alasan apa, surat-surat tersebut tak diterbitkan. Ny Abendanon hanya menerbitkan kumpulan surat Kartini yang diberi judul ”Door Duisternis tot Licht" (Habis Gelap Terbitlah Terang). Keterangan mengenai kepercayaan Kartini terhadap okultisme hanya didapat dari surat-suratnya yang ditujukan kepada Stella dan keluarga Van Kol. Seperti diketahui, okultisme banyak diajarkan oleh jaringan Freemasonry dan Theosofi, sebagai bagian dari ritual perkumpulan mereka.
Nama-nama lain yang menjadi teman berkorespondensi Kartini adalah Tuan H. H Van Kol, Ny Nellie Van Kol, Ny M. C. E Ovink Soer, E. C Abendanon (anak J. H Abendanon), dan Dr N Adriani (orang Jerman yang diduga kuat sebagai evangelis di Sulawesi Utara). Kepada Kartini, Ny Van Kol banyak mengajarkan tentang Bibel, sedangkan kepada Dr N Adriani, Kartini banyak mengritik soal zending Kristen, meskipun dalam pandangan Kartini semua agama sama saja.
Apakah korespondensi Kartini dengan para keturunan Yahudi penganut humanisme, yang juga diduga kuat sebagai aktivis jaringan Theosofi-Freemasonry, berperang penting dalam memengaruhi pemikiran Kartini? Ridwan Saidi dalam buku Fakta dan Data Yahudi di Indonesia menyebutkan, sebagai orang yang berasal dari keturunan priayi atau elit Jawa dan mempunyai bakat yang besar dalam pendidikan, maka Kartini menjadi bidikan kelompok Theosofi, sebuah kelompok yang juga banyak digerakkan oleh orang-orang Belanda saat itu.
“…maka Kartini menjadi bidikan kelompok Theosofi, sebuah kelompok yang juga banyak digerakkan oleh orang-orang Belanda saat itu...”.
Dalam catatan Ridwan Saidi, orang-orang Belanda gagal mengajak Kartini berangkat studi ke negeri Belanda. Karena gagal, maka mereka menyusupkan ke dalam kehidupan Kartini seorang gadis kader Zionis bernama Josephine Hartseen. Hartseen, menurut Ridwan adalah nama keluarga Yahudi.
Siapa yang berperan penting merekatkan hubungan Kartini dengan para elit Belanda? Adalah Christian Snouck Hurgronje orang yang mendorong J.H Abendanon agar memberikan perhatian lebih kepada Kartini bersaudara. Hurgronje adalah sahabat Abendanon yang dianggap oleh Kartini mengerti soal-soal hukum agama Islam. Atas saran Hurgronje agar Abendanon memperhatikan Kartini bersaudara, sampailah pertemuan antara Abendanon dan Kartini di Jepara.
Sebagai seorang orientalis, aktivis Gerakan Politik Etis, dan penasihat pemerintah Hindia Belanda, Snouck Hurgronje juga menaruh perhatian kepada kepada anak-anak dari keluarga priyayi Jawa lainnya. Hurgronje berperan mencari anak-anak dari keluarga terkemuka untuk mengikuti sistem pendidikan Eropa agar proses asimilasi berjalan lancar.
Langkah ini persis seperti yang dilakukan sebelumnya oleh gerakan Freemasonry lewat lembaga ”Dienaren van Indie” (Abdi Hindia) di Batavia yang menjaring anak-anak muda yang mempunyai bakat dan minat untuk memperoleh beasiswa. Kader-kader dari ”Dienaren van Indie” kemudian banyak yang menjadi anggota Theosofi dan Freemasonry.
Antara Kartini dan Alquran
Sebagai anak dari keluarga bangsawan Jawa yang memeluk Islam, sudah menjadi kebiasaan untuk memanggil guru mengaji ke rumah. Tapi, namanya guru ‘ngaji’ kala itu ternyata hanya menghafal surat- surat Alquran dalam bahasa Arab dan tidak disertai dengan terjemahannya. Kartini tidak bisa menerima hal tersebut. Dia menanyakan dari ayat – ayat yang diajarkan. Bukan jawaban yang didapat, sang guru ngaji malah memarahinya. Pada waktu itu penjajah Belanda memang memperbolehkan orang mempelajari Alquran asal jangan diterjemahkan.
Kartini sedih.
Kepada sahabatnya, Stella, Kartini menulis surat, 6 November 1899:
“Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Alquran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Alquran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tetapi tidak diajar makna yang dibaca itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?”
Kepada sahabat lainnya, E.E. Abendanon, Kartini menulis surat, 15 Agustus 1902:
“Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlunya dan apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengeti artinya, dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya.”
Dahaga Kartini mengenai Islam sedikit mulai terpuasi saat berkenalan dengan K.H. Mohammad Sholeh bin Umar yang sering disebut Kiai Sholeh Darat. Suatu hari, ketika Kartini bertamu ke rumah pamannya, seorang bupati di Demak, Pangeran Ario Hadiningrat, waktu itu sedang berlangsung pengajian bulanan khusus untuk anggota keluarga. Kartini ikut mendengarkan pengajian tersebut bersama para raden ayu yang lain dari balik hijab. Saat itu Kiai Sholeh Darat, ulama besar asal Semarang, tengah menguraikan tafsir Al-Fatihah. Kartini sangat tertarik pada materi tersebut. Usai pengajian, Kartini mendesak pamannya agar mau menemaninya untuk menemui Kiai tersebut. Saat itu terjadi dialog antara Kartini dengan Kiai Sholeh Darat, seperti yang ditulis Ibu Fadhila Sholeh, cucu Kiai Sholeh Darat:
“Kiai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?”
Tertegun mendengar pertanyaan Kartini, Kiai balik bertanya,
“Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?”
“Kiai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama (Al-Fatihah), dan induk Alquran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Alquran dalam bahasa Jawa. Bukankah Alquran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Tergugah dengan kritik itu, Kiai Sholeh Darat kemudian menerjemahkan Alquran dalam bahasa Jawa dan menuliskannya dalam sebuah buku berjudul Faidhir Rahman Fit Tafsiril Quran jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari Surat Al-Fatihah hingga Surat Ibrahim. Buku itu dihadiahkan kepada Kartini saat beliau menikah dengan R. M Joyodiningrat, Bupati Rembang pada tanggal 12 November 1903.
Kiai Sholeh Darat keburu meninggal pada tanggal 18 Desember 1903 pada saat baru menerjemahkan satu jilid tersebut. Kartini merasa sangat kehilangan gurunya itu. Namun dari informasi Ilahi yang tampaknya terbatas itu pun sudah cukup membuka pikiran Kartini mengenai Islam dan ajaran-ajarannya.
Salah satu hal yang memberikan kesan mendalam pada beliau adalah ketika membaca tafsir Surat Al-Baqarah. Dari situlah tercetus kata-kata beliau dalam bahasa Belanda, Door Duisternis Tot Licht. Ungkapan itu sebenarnya terjemahan bahasa Belanda dari petikan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala yaitu Minadz Dzulumaati IlanNuur yang terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 257.
Oleh Armyn Pane, ungkapan itu diterjemahkan dalam bahasa Melayu atau Indonesia sebagai “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Padahal jika berangkat dari petikan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala tersebut lebih tepat dimaknai sebagai Dari Kegelapan Menuju Cahaya, yang dapat ditafsirkan sebagai ”dari pemikiran yang tak terarah menuju pemikiran yang dilandasi hidayah Iman dan Islam”.
Petikan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala dalam Surat Al-Baqarah ayat 257 tersebut sebenarnya untuk menggambarkan kondisi kejiwaan seseorang yang mendapat hidayah Iman dan Islam, di mana dia mendapatkan informasi yang sangat terang dan masuk dalam kalbunya mengenai kebenaran yang hakiki dari Tuhannya. Kondisi seperti itulah yang dialami oleh Kartini menjelang akhir hidupnya.
Dalam fase pertama, yaitu fase pra-hidayah, Kartini mendapat pencerahan tentang perlunya mendobrak adat-adat lokal, baik perilaku yang mengistimewakan keturunan ningrat daripada keturunan rakyat biasa maupun yang mengekang hak-hak wanita pada umumnya. Menurutnya, setiap manusia adalah sederajat dan mereka berhak mendapat perlakuan yang sama. Sedangkan khusus untuk wanita, mereka memiliki hak misalnya untuk memperoleh pendidikan sekolah, hak untuk melakukan aktivitas keluar rumah, hak untuk memilih calon suami.
Namun, di lain pihak Kartini juga berusaha untuk menghindar dari pengaruh budaya Barat walaupun juga mengakui bahwa perlu belajar dari Barat karena lebih maju dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan. Dalam fase ini Kartini juga mengajukan kritik dan saran kepada Pemerintahan Hindia Belanda.
Dalam fase kedua, yaitu selama dan pasca-mendapatkan hidayah, ia mendapat pencerahan tentang agama yang dianutnya, yaitu Islam. Bahwa Islam, jika ajaran-ajarannya diikuti dengan benar sesuai dengan Alquran, ternyata membawa kehidupan yang lebih baik dan memiliki citra baik di mata umat agama lain. Kartini menulis dalam surat-suratnya, bahwa ia mengajak segenap perempuan bumiputra untuk kembali ke jalan Islam. Tidak hanya itu, Kartini bertekad berjuang untuk mendapatkan rahmat Allah, agar mampu meyakinkan umat lain memandang agama Islam sebagai agama yang patut dihormati.
“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai“ (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902).
Klimaksnya, nur hidayah itu membuatnya bisa merumuskan arti pentingnya pendidikan untuk wanita, bukan untuk menyaingi kaum laki-laki seperti yang diyakini oleh kebanyakan pejuang feminisme dan emansipasi, namun untuk lebih cakap menjalankan kewajibannya sebagai ibu. Kartini menulis:”Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. “ (Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902).
Pikiran Kartini ini mengalami perubahan bila dibandingkan dengan pada waktu fase sebelum hidayah, yang lebih mengedepankan keinginan akan bebas, merdeka, dan berdiri sendiri. Kartini menulis: “Jika saja masih anak-anak ketika kata-kata “Emansipasi” belum ada bunyinya, belum berarti lagi bagi pendengaran saya, karangan dan kitab-kitab tentang kebangunan kaum putri masih jauh dari angan-angan saja, tetapi di kala itu telah hidup di dalam hati sanubarai saya satu keinginan yang kian lama kian kuat, ialah keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri. “ (Surat Kartini kepada Nona Zeehandelaar, 25 Mei 1899).
Tidak hanya itu, nur hidayah itu juga bisa menyebabkan perubahan sikap beliau terhadap Barat yang tadinya dianggap sebagai masyarakat yang paling baik dan dapat dijadikan contoh. Kartini menulis, “Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902).
Dan, yang lebih penting lagi, Kartini menjadi sadar terhadap upaya kristenisasi secara terselubung yang dilakukan oleh teman-temannya. Kartini menulis, “Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka kristenisasi?… Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkristenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan?” (Surat Kartini kepada E. E. Abendanon, 31 Januari 1903).
Hindia Belanda dan Yahudi
Diam – diam, Hindia Belanda mengirim orang – orang Yahudi dan Nasrani kepada Kartini agar mampu mengarahkannya agar tidak menjadi kritis, apalagi tumbuh menjadi pemimpin umat. Ini yang tidak diinginkan Belanda. Orang – orang ini adalah:
1. J.H. Abendanon dan E.E. Abendanon
Dia tiba di Hindia Belanda pada 1900 dengan tugas melaksanakan Politik Etis. Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda ini sahabat dekat Snouck Hurgronje. Bersama Hurgronje, Abendanon melancarkan Politik Asosiasi, agar generasi muda Islam mengidentifikasikan dirinya dengan Barat. Menurut mereka, Umat Islam-lah yang paling keras permusuhannya terhadap penjajahan. Sebab itu, Generasi muda pribumi harus di-Baratkan, yang harus dimulai dari kalangan ningrat. Hurgronje menyarankan Abendanon untuk mendekati Kartini. Dengan misi itulah Abendanon membina hubungan baik dengan Kartini.
2. Dr. Adriani
Seorang pendeta sahabat Abendanon yang diperkenalkan kepada Kartini sewaktu Kartini diundang di Batavia.
3. Annie Glasser
Seorang tangan kanan Abendanon yang disusupkan ke Jepara sebagai guru Bahasa Perancis Kartini. Dia tidak dibayar asalkan bisa berhubungan dekat dengan Kartini.
4. Stella (Estelle Zeehandelaar)
Seorang perempuan Yahudi Belanda yang berhalauan feminis militan. Dia bersahabat dengan tokoh sosialis, Ir. Van Kol, wakil ketua SDAQ (Partai Sosialis Belanda) di Tweede Kamer (Parlemen).
5. Nellie Van Kol
Seorang penulis humanisme progresif yang paling berperan dalam mendangkalkan aqidah Kartini. Awalnya, dia ingin mengkristenkan Kartini, namun gagal secara formal. Walau demikian banyak pemikiran Kristen yang sedikit banyak mempengaruhi Kartini, sepert suratnya tertanggal 12 Juli 1902 kepada Ny. Ovink Soer: “Malaikat yang baik berterbangan di sekeliling saya dan Bapak yang ada di langit membantu saya dalam perjuangan saya dengan bapakku yang ada di dunia ini.” Atau, “Nyonya Van Kol banyak menceritakan kepada kami tentang Yesus yang tuan muliakan itu, tentang rasul-rasul Petrus dan Paulus, dan kami senang mendengar semua itu.” (Surat kepada Dr.Adriani, 5 Juli 1902).
Mengingat Kutipan-Kutipan Surat Kartini
Untuk lebih memahami apa yang dicita-citakan Kartini, bisa kita ikuti isi kutipan-kutipan suratnya, sebagai berikut. (dari "Letters of a Javanese Princess", dengan pendahuluan dr. Eleanor Roosevelt dan di-edit oleh Hildred Geertz. Terbitan: the Norton Library, NY, 1964). Diterjemahkan dari bahasa Inggris (aslinya bahasa Belanda):
RA Kartini dan pandangannya terhadap Islam
Halaman 44, surat kepada Stella Zeehandelaar, November 1899:
Saya tidak dapat menjelaskan apa pun kepadamu tentang Hukum Islam, Stella. Pengikut agama ini dilarang untuk membicarakannya dengan mereka yang beragama lain. Dan, jujurnya, saya menjadi Muslim hanya karena nenek moyang saya. Bagaimana saya dapat mencintai sebuah doktrin yang saya tidak tahu - dan tidak pernah akan tahu ?
Quran terlalu suci untuk diterjemahkan dalam bahasa lain mana pun. Di sini tidak ada yang bicara bahasa Arab. Memang, adat di sini adalah membaca Quran; tetapi apa yang dibaca tidak ada yg mengerti! Bagi saya aneh (Silly) memang kalau kita diwajibkan membaca sesuatu tanpa bisa mengertinya. Ini seperti saya dipaksa membaca buku dalam bahasa Inggris, dan seluruhnya melewati otak saya tanpa saya bisa mengerti satu patah kata pun. Jika saya ingin mengetahui dan mengertinya, saya harus ke Arabia dulu untuk belajar bahasa. Namun demikian, orang bisa saja baik tanpa menjadi religius. Betulkah itu, Stella ?
...
Ya Tuhan ! Kadang saya merasa lebih baik kalau tidak ada agama, karena apa yang seharusnya menyatukan umat manusia ke dalam satu persaudaraan akhirnya dari zaman ke zaman hanyalah menjadi sumber pertempuran, ketidakcocokan dan pertumpahan darah.
...Kadang saya tanya pada diri sendiri: apakah agama memang rahmat bagi umat manusia ?
Halaman 81, surat kepada Stella tentang perkawinan, Agustus 1900:
Dalam dunia Islam, persetujuan, ya, bahkan kehadiran wanita itu tidak perlu dalam perkawinan. Ayah bisa saja suatu waktu pulang dan mengatakan kepada saya, "Kau sudah dikawinkan dengan si ini atau si itu." Saya kemudian harus mengikuti suami saya. Benar, saya bisa menolak, tetapi itu memberikannya hak untuk mengekang saya kepadanya seumur hidup saya tanpa perlu mendekati saya. Saya istrinya dan walau saya tidak mematuhinya, dan jika ia tidak menceraikan saya, saya tetap terikat padanya selama-lamanya, sementara ia bebas melakukan apa saja. Ia bisa menikahi wanita sebanyak yang ia inginkan tanpa perlu mengkhawatirkan saya. Jika Ayah akan mengawinkan saya dengan cara ini, maka saya harus mencari jalan keluar. Namun Ayah tidak pernah akan melakukan ini.
... Memang untungnya tidak setiap Muslim memiliki 4 istri atau lebih, tetapi setiap istri tahu bahwa ia bukanlah satu-satunya, dan setiap harinya suaminya bisa membawa pulang istri baru, yang haknya sama dengan istri pertama. Menurut Hukum Islam, wanita baru itu juga istrinya. Di wilayah-wilayah yang diperintah langsung (oleh Belanda), nasib wanita-wanita tidak separah saudara-saudara mereka di daerah-daerah yang diperintah kesultanan, seperti di Surakarta dan Yogyakarta. Di sini wanita sudah untung kalau suaminya memiliki 1, 2 atau 3 atau 4 istri. Di daerah-daerah kesultanan ini, wanita-wanita di situ akan menertawakannya. Sulit menemukan lelaki dgn 1 istri. Di antara kaum aristokrat, khususnya dalam lingkungan sultan, para suami biasanya memiliki 26 istri.
Apakah kondisi ini akan berlanjut, Stella ?
Bangsa kami begitu terbiasa dengan adat ini dan menganggap cara dimadu lelaki ini sebagai satu-satunya cara bagi wanita untuk memenuhi kebutuhannya. Tetapi saya tahu dari wanita-wanita yang saya kenal, dalam hati mereka, mereka mengutuk hak-hak lelaki ini. Tetapi kutukan tidak ada gunanya; sesuatu harus dilakukan.
... Ya, Stella, saya juga tahu bahwa di Eropa keadaan moralitas lelaki juga tragis ... tetapi ibu-ibu muda disana bisa berbuat lebih banyak ...
Saya ingin sekali mendapatkan anak-anak, lelaki atau perempuan ... Tetapi yang paling penting saya tidak pernah akan melanjutkan adat menyedihkan dimana anak lelaki lebih diprioritaskan daripada anak perempuan... Bahkan sejak kecil, lelaki diajarkan untuk merendahkan wanita. Sering saya mendengar ibu-ibu mengatakan kepada anak-anak lelaki mereka kalau mereka jatuh dan menangis: "Jangan cengeng seperti perempuan!"
... Dan lalu saya akan mencabut pagar pemisah antara kedua jenis kelamin ini... Saya tidak percaya bahwa lelaki-lelaki terdidik dan beradab akan menghindari wanita yang sederajad pendidikannya, dan lebih menginginkan wanita tidak bersusila. Walaupun banyak lelaki mencari wanita-wanita terdidik, banyak juga lelaki yang tidak memiliki interes sedikitpun dalam perempuan selain alasan seks. Nah, segalanya ini akan hilang jika lelaki dan wanita dapat bercampur sejak anak-anak.
Halamanl 138, surat kepada Ny. Abendanon-Mandiri, November 1901:
Ide untuk menerbitkan buku tentang segala pemikiran dan perasaan saya tentang kondisi wanita Muslim kami, sudah ada sejak lama. Saya ingin menuliskannya dalam buku, dalam bentuk 2 putri regent-satu Sunda, satu Jawa. Saya sudah menulis sejumlah surat, tetapi saya akan menundanya dulu. ... Kesulitannya adalah bahwa Ayah tidak akan mengizinkan saya menerbitkan buku macam itu. "Bagus kalau kamu pandai menulis dalam bahasa Belanda," kata Ayah, " tetapi itu bukan alasan untuk membongkar pemikiranmu yang paling mendalam."
Jadi, kami perempuan tidak boleh memiliki pemikiran, kami harus berpikir bahwa semuanya baik, dan mengatakan "ya" dan "amin" kepada apa pun.
... Kapan datang waktunya dimana wanita dan laki2 bisa memandang satu sama lain sebagai manusia sederajat, sebagai kameraad ? Sekarang ini-bah! Betapa rendahnya derajat wanita !
Halaman 145, surat kepada Ny. Abendanon, Februari 1902:
Saya punya permintaan kepada anda, permintaan sangat penting: jika anda melihat teman anda, Dr Snouck-Hurgronje, tanya dia apakah di antara Muslim, ada hukum mayoritas, seperti yang berlaku di antara kalian (orang Eropa) ? Saya ingin mengetahui tentang hak-hak dan kewajiban istri dan putri Muslim. Memang aneh bagi saya untuk bertanya ! Ini membuat saya MALU bahwa kami tidak mengetahuinya sendiri. Betapa pahitnya bahwa kami tidak mengetahui apa-apa.
Halaman 169, surat kepada Stella, Mei 1902:
Saya mendapat jawaban atas pertanyaan saya tentang kapan gadis Muslim dewasa/akil baliq. Jawabnya, "Gadis Muslim TIDAK PERNAH mencapai akil baliq. Jika ia ingin bebas, ia harus terlebih dahulu menikah dan setelah itu diceraikan." Nah, oleh karena itu kami harus menyatakan diri sendiri akil baliq, dan memaksa dunia untuk mengakui kemerdekaan kita.
Halaman 199, surat kepada Ny. Abendanon, 12 Oktober, 1906:
Saya dikatakan harus secara sederhana (secara munafik) mengarahkan mata saya ke bawah. Saya tidak akan melakukannya (!) Saya akan menatap lelaki, maupun perempuan, langsung kepada matanya, tidak menatap lantai.
Halaman 208, surat kepada Ny. Abendanon, 12 Desember, 1902:
Beberapa waktu lalu, pekerja kami diselamatkan lewat mukjizat. 11 rumah sekelilingnya terbakar, tetapi rumahnya selamat. Seluruh desa mendatanginya untuk melihat ilmu atau jimat apa yang digunakannya. Tidak, katanya, ia tidak memiliki Jimat atau ilmu apa-apa, hanya "Gusti Allah" yang menyelamatkannya untuk tujuan-Nya. Sehari setelah itu, ia datang kepada kami dan, aneh!, ia mengucapkan terima kasih kepada kami karena rumahnya selamat. Ia bersikeras bahwa kekuatan sembahyang kami-lah yang menyelamatkan rumahnya dari malapetaka. Betapa mengharukan kepercayaan orang yang naif dan lugu itu.
Saya tanya pada diri sendiri, apa hak saya untuk mencabut kepercayaannya yang sederhana ini yang membuatnya bahagia ?
... Kami sudah lama berpaling dari agama manapun karena kami melihat begitu banyak dosa yang dibuat atas nama agama...
Kartini: Dari Kegelapan Menuju Cahaya
Dalam Alquran Surat Al Baqarah ayat 257, Kartini menemukan kata-kata yang amat menyentuh nuraninya : Orang-orang yang beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya ( Minadzdzulumaati Ilaan Nuur ). Kenapa kita tidak pernah mengetahuinya?
Tampaknya, tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya. Namun, wanita-wanita negerinya sudah terbata-bata membaca cita-citanya. Beberapa tahun yang lalu namanya kembali mencuat ke permukaan setelah seorang sejarawan Indonesia mempermasalahkan gelar kepahlawanannya. Lepas dari kaitan itu kita tak perlu mempermasalahkan dia benar atau salah atau pantaskah ia mendapat gelar pahlawan atau tidak. Yang pasti sejarah harus diungkapkan baik dan buruknya. Terserah kepada pendengar sejarah untuk menilai dan berinterpretasi terhadap sejarah tersebut.
Kartini tidak dapat diartikan lain kecuali sesuai dengan apa yang tersirat dalam kumpulan suratnya; " DOOR DUISTERNIS TOT LICHT ", yang terlanjur diartikan oleh Armyn Pane sebagai, " Habis Gelap Terbitlah Terang ". Sedangkan Prof. Dr. Haryati Soebadio, mantan Dirjen Kebudayaan Depdikbud, yang notabene cucu RA Kartini mengartikannya sebagai, " dari Gelap Menuju Cahaya ", yang kalau kita lihat dalam Alquran akan tertulis sebagai, " Minadzhdzhulumati Ilaan Nuur ". Ini merupakan inti ajaran Islam yang membawa manusia dari kegelapan menuju cahaya (iman).
Kartini ada dalam proses kegelapan menuju cahaya, tapi cahaya itu belum sempurna menyinari karena terhalang oleh usaha westernisasi. Kartini yang dikukung oleh adat dan dituntun oleh Barat telah mencoba meretas jalan menuju ke tempat yang terang. Dan, apakah yang kita lakukan kini merupakan langkah-langkah maju ataukah surut ke belakang...?
Ibu, Sekolah bagi Anaknya
Berapa banyak dewasa ini jabatan dan kedudukan penting yang pada mulanya dipegang oleh kaum pria kini dipegang oleh kaum wanita. Berapa banyak pula jumlah pekerjaan yang dimasuki oleh kaum wanita sehingga banyak kaum pria yang harus kehilangan pekerjaannya.
Seorang wanita sekali pun tidak bekerja, maka ia tidak akan kehilangan nafkahnya, krn ia hidup dari tanggungan hidup suaminya. Tapi apa artinya jika seorang pria kehilangan pekerjaannya..? Maka mulut yg ada di belakangnya, yaitu mulut istri dan anak-anaknya akan tetap menganga menanti kehadirannya, mengharapkan sesuatu yg dibawanya. Apa jadinya negeri ini jika kaum prianya menganggur ? Kalau bukan petaka, tentu paling tidak negeri ini menjadi " Lembah Amazone ".
Padahal wanita lebih diperlukan sebagai "sekolah" bagi anak-anaknya. Dan, bukan sebagai kuda beban atau ayam-ayam pengais yang tertatih-tatih dan tersuruk-suruk menanggalkan pribadinya yang asli. Kartini tidak pernah mengimpikan wanita-wanita sesudah generasinya menjadi bebas tanpa kendali atau merebut hak lelaki hingga mengingkari fitrahnya.
Surat kepada Stella (tertanggal 18 Agustus 1899).
" Sesungguhnya adat sopan santun kami orang Jawa amatlah rumit. Adikku harus merangkak, bila hendak berlalu di hadapanku. kalau adikku duduk di kursi, saat aku lalu, haruslah ia turun duduk di tanah dengan menundukkan kepala sampai aku tak terlihat lagi. Mereka hanya boleh menegurku dengan bahasa kromo inggil. Tiap kalimat haruslah diakhiri dengan "sembah". Berdiri bulu kuduk, bila kita berada dalam lingkungan keluarga Bumiputera yang ningrat. Bercakap-cakap dengan orang lain yang lebih tinggi derajatnya haruslah perlahan-lahan, jalannya langkah-langkah pendek-pendek, gerakannya lambat-lambat seperti siput. Bila berjalan cepat dicaci orang, disebut sebagai kuda liar. Peduli apa aku dengan segala tata cara itu.....Segala peraturan itu buatan manusia dan menyiksa diriku saja. Kamu tidak dapat membayangkan bagaimana rumitnya etiket keningratan di dunia Jawa itu....
Tapi sekarang mulai dengan aku, antara kami (Kartini, Roekmini dan Kardinah) tidak ada tatacara itu lagi. Perasaan kami sendirilah yang akan menunjukkan atau menentukan sampai batas mana cara Liberal itu boleh dijalankan.
Bagi saya hanya ada dua macam keningratan, keningratan pikiran (fikroh), dan keningratan budi (akhlaq). Tidak ada manusia yang lebih gila dan bodoh menurut persepsi saya daripada melihat orang membanggakan asal keturunannya. Apakah berarti sudah beramal sholeh orang yang bergelar macam Graaf atau Baron..? Tidaklah dapat dimengerti oleh pikiranku yang picik ini,.."
Siapa Dia dan Mau Apa?
Kita buka kembali beberapa cuplikan surat Kartini yang sedikit membuka siapa dan mau apa ia.
"...Orang kebanyakan meniru kebiasaan orang baik-baik, orang baik-baik itu meniru perbuatan orang yang lebih tinggi pula, dialah orang Eropa " (kepada Stella, 25 Mei 1899)
" Aku mau meneruskan pendidikan ke Holland, karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yg telah aku pilih ". (kepada Ny Ovinksoer, 1900)
" Sekarang kami merasakan badan kami lebih kokoh, segala sesuatu tampak lain sekarang. Sudah lama cahaya itu tumbuh dalam hati kami. Kami belum tahu waktu itu dan Ny. Van Kol yang menyibak tabir yang tergantung di hadapan kami. Kami sangat berterimakasih kepadanya, " (kepada Ny Ovinksoer, 12 Juli 1902)
" Ny Van Kol banyak bercerita kepada kami tentang Yesus yang Tuan muliakan itu, tentang rasul-rasul Petrus dan Paulus, dan kami senang mendengar itu semua," (kepada Dr Adriani, 5 Juli 1902)
" Malaikat yang baik beterbangan di sekeliling saya dan Bapak yang ada di langit membantu saya dalam perjuangan saya dengan bapakku yg ada di dunia ini," (kepada Ny Ovink Soer, 12 Juli 1902)
Itulah beberapa surat yang Kartini layangkan kepada orang-orang yang menjadi "sahabat"nya, dan yang berkiblat kepada Kristen atau yang berusaha menggiringnya ke arah pemikiran Barat.
Perubahan Besar Kartini
Setelah mengikuti pengajian KH Sholeh Darat, terjadilah perubahan besar dalam diri Kartini. Kini ia mulai memahami Islam. Coba simak beberapa suratnya lagi:
"Sudah lewat masanya, tadinya mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik tiada taranya, maafkan kami, tetapi apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna..?? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat Ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut dinamakan peradaban ?? " (kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902).
"Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka Kristenisasi................bagi orang Islam, melepaskan kepercayaannya sendiri dan memeluk agama lain merupakan dosa yang sebesar-besarnya........pendek kata, boleh melakukan zending, tetapi janganlah meng-kristen-kan orang lain. Mungkinkah itu dilakukan ? " (kepada E.C. Abendanon, 31 Januari 1903).
Memang kumpulan surat-surat Kartini bukanlah kitab suci. Tapi kalau kita telaah kembali maka akan nampaklah apa cita-citanya yang luhur. Sayang, itu semua sudah mengalami banyak deviasi sejak diluncurkan dahulu, setelah berlalu tiga generasi konsep Kartini tentang emansipasi semakin hari semakin hari jauh meninggalkan makna pencetusnya. Sekarang dengan mengatasnamakan Kartini para feminis justru berjalan di bawah bayang-bayang alam pemikiran Barat. Suatu hal yang malah ditentang oleh Kartini. (Koesmoko/berbagai sumber)
Posting Komentar